Seperti pemilihan Kepala Daerah yang digelar secara serentak tahun 2024 ini, seolah menjadi ajang uji coba sejauh mana pemahaman masyarakat tentang pesta demokrasi. Cita-cita reformasi telah tercapai atau belum.
Pemilihan Bupati/Walikota dan Gubernur dipilih bersamaan waktunya, adalah bukti bahwa zaman sudah jauh melangkah. 26 tahun berjalan, sejak tahun 1998 bukan waktu yang sedikit. Mestinya hari ini, pendidikan politik kita sudah cerdas.
Demokrasi dimasa ini harusnya, sudah sampai dipuncak harapan yaitu tentang kecerdasan memilih pemimpin. Namun, harapan itu belum tercapai.
Soal dipilih dan memilih adalah hak warga negara yang konstitusional. Tetapi memastikan siapa yang tepat untuk dipilih, menjadi perdebatan yang memanas. Hal itu dipicu oleh kepentingan politik, atas rencana segelintir pihak untuk mengambil banyak keuntungan nantinya hingga muncul egosentris antar pendukung.
Masyarakat dibawah garis menengah selalu menjadi sasaran utama untuk mencapai misi politik, karena pada tataran ini jumlahnya paling dominan. Sementara, diatasnya yakni pemilih cerdas dianggap minoritas. Sehingga Poltik transaksional menentukan besarnya peluang memenangkan pertarungan.
Politik transaksional bukan tidak mampu dihilangkan, tetapi diakibatkan oleh keterbatasan ekonomi dari kalangan garis menengah kebawah. Tidak lagi melihat calonnya siapa, programnya apa, melainkan melihat berapa nilai mata uang.
Kendati hal itu sulit dihindari, namun masih banyak kaum pemilih cerdas yang menyalurkan hak pilihnya dengan kategori yang terukur.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah Dosen UIN Antasari Banjarmasin dikutip dari Radar Banjarmasin menyebut, pemilih cerdas punya peran penting menentukan pemimpin. Mereka memiliki tiga aspek standar yaitu, melihat sosok yang akan dipilih, melihat program calon yang akan dipilih dan melihat track record calon yang akan dipilih.
Pemilih cerdas dipastikan, akan memilih orang yang sudah pernah membangun atau memberikan kontribusi diwilayah mana ia akan dipilih. Pemilih cerdas tidak akan tertipu dengan janji-janji, mereka lebih pada melihat rasionalitas program.
Kemudian, pemilih cerdas akan melihat karakter calon yang akan dipilih. Melihat calon pemimpin yang punya perangai baik ditinjau dari tingkah laku, emosional dan spritual (Ketaatan beribadah).
Terkahir, Pemilih cerdas akan melihat track record atau jejak kepemimpinan. Kalau sudah pernah gagal, pemilih cerdas tidak akan memilih sosok tersebut sebab dikategorikan tidak amanah atau tidak mampu menyelesaikan program yang pernah dijanjikan kepada masyarakat. "Hasrul"
0 Komentar